![]() |
| Foto : Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Uskup Pangkalpinang (kanan). dok/ist) |
Jakarta, JejakSiber.com — Sinode bukan sekadar agenda atau dokumen Gereja, melainkan cara hidup dan bekerja umat beriman dalam menjalankan misi Kristus di dunia. Demikian disampaikan Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, Uskup Pangkalpinang, dalam refleksi hari ketiga Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 di Hotel Mercure Convention Center, Jakarta, Rabu (5/11/25).
Dalam sesi bertajuk “Gereja Sinodal (Dokumen Akhir Sinode 2021–2024)”, Mgr. Sunarko menegaskan bahwa sinodalitas merupakan modus vivendi et operandi Gereja—cara hidup sekaligus cara bertindak umat Allah. Ia mengingatkan, proses sinode bukan monopoli para elit Gereja di Roma, melainkan gerakan akar rumput yang berawal dari komunitas umat di keuskupan-keuskupan.
“Sinode dimulai dari konsultasi di tingkat keuskupan, lalu dirangkum oleh KWI, diteruskan ke tingkat kontinental, dan akhirnya berujung pada Sidang Sinode Universal di Vatikan,” jelasnya. Karena itu, menurutnya, banyak gagasan dalam Dokumen Akhir Sinode mencerminkan pengalaman hidup Gereja Indonesia.
Dikutip dari mirifica.net, Mgr. Sunarko menyebut sinode sebagai buah langsung dari semangat Konsili Vatikan II yang menegaskan Gereja sebagai Umat Allah yang terus-menerus bertobat dan mendengarkan Injil.
Tiga Pilar Gereja Sinodal
Dalam pemaparannya, Mgr. Sunarko menggarisbawahi tiga fondasi Gereja Sinodal: communio, partisipasi, dan misi. “Communio menjadi syarat kredibilitas pewartaan Gereja, tapi pembaruan communio harus selalu berorientasi pada misi,” ujarnya. Tanpa partisipasi umat beriman, lanjutnya, Gereja akan kehilangan roh kebersamaannya.
Ia menegaskan, “Sinode bukan sekadar sidang atau rapat, tetapi proses berjalan bersama seluruh umat Allah—awam, religius, imam, dan uskup—dalam tanggung jawab dan karisma masing-masing.”
Subjek Gereja Adalah Seluruh Umat Allah
Bagi Mgr. Sunarko, sinodalitas menempatkan seluruh umat beriman sebagai subjek Gereja. Dasarnya adalah baptisan yang menjadikan setiap orang memiliki martabat yang sama. Dalam sakramen Ekaristi, tutur Uskup, “Sinodalitas hidup secara konkret: semua terlibat, dengan tanggung jawab yang berbeda namun saling melengkapi.”
Hierarki, menurutnya, bukanlah dominasi, tetapi pelayanan yang menjaga kesatuan dan kesetiaan Gereja terhadap misi Kristus. Ia mengingatkan, “Tidak adanya transparansi dan akuntabilitas justru memperkuat klerikalisme.”
Misi Keluar dan Kesaksian Profetis
Dalam konteks dunia modern yang sarat kesenjangan sosial dan krisis solidaritas, Mgr. Sunarko menilai Gereja Sinodal harus menjadi kesaksian kenabian yang hidup. “Sinodalitas memberi inspirasi bagi dunia politik dan ekonomi untuk berjalan dalam dialog, solidaritas, dan persaudaraan,” ujarnya.
Ia juga mengajak Gereja Indonesia untuk berani “keluar” dari zona nyaman dan hadir di tengah masyarakat, termasuk di dunia digital yang kini membentuk cara baru beriman, terutama di kalangan muda.
“Proses sinodal bukan selesai di Roma,” tutupnya. “Ia harus terus dihidupi dalam keseharian umat—dalam cara Gereja mendengar, berdialog, melayani, dan bersatu dalam kasih.” (Js)
Editor : Red
Sumber: mirifica.net, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2025, 5 November 2025

















