![]() |
| Foto : Mahasiswa Batam saat melakukan aksi di halaman DPRD Kota Batam, Rabu (27/8/25). (dok/ist/Jul) |
Rempang, Banjir, Sampah, Mafia Pangan: Mahasiswa Sebut "Batam Dijadikan Ladang Bisnis"
Batam, JejakSiber.com – Gelombang kritik terhadap kebijakan pembangunan di Kota Batam kembali bergema. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI Kerakyatan Kepri bersama Aliansi Mahasiswa se-Kota Batam menggelar aksi bertajuk “Indonesia Sold Out” di halaman DPRD Batam, Rabu (27/8/25).
Aksi ini menjadi puncak akumulasi kekecewaan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah daerah yang dinilai abai terhadap kepentingan rakyat kecil.
12 Tuntutan Mahasiswa
Dalam manifestonya, mahasiswa melayangkan 12 poin desakan yang menyentuh isu-isu fundamental di Batam: mulai dari investasi kontroversial di Rempang, banjir, krisis sampah, tata kelola parkir, revisi KUHAP, sikap represif aparat, program makan bergizi gratis, kesejahteraan guru honorer, praktik mafia pangan, hingga klaim Pemko Batam sebagai “Kota Layak Anak”.
Rempang: Paradoks Pembangunan
Proyek Rempang Eco-City yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak 2023 dengan nilai investasi lebih dari Rp300 triliun, menjadi sorotan utama. Meski digadang-gadang menciptakan lapangan kerja baru, proyek ini menyisakan konflik panjang: bentrokan aparat dengan warga, sengketa lahan, hingga ancaman hilangnya ruang hidup masyarakat adat.
“Pemerintah selalu bicara investasi triliunan, tapi di balik itu ada warga yang terusir dari tanah leluhurnya. Relokasi tanpa pemulihan penghidupan adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat,” tegas Muryadi Aguspriawan, Koordinator Wilayah BEM SI Kepri sekaligus mahasiswa FISIP Unrika.
Ia menambahkan, DPRD Batam seharusnya berani meninjau ulang proyek Rempang, bukan sekadar menjadi stempel kebijakan pusat.
Banjir, Sampah, dan Dugaan Korupsi
Selain Rempang, masalah banjir dan sampah juga menjadi keluhan nyata masyarakat Batam. Dalam kajian policy brief BEM SI Kepri, banjir disebut sebagai persoalan multidimensi akibat urbanisasi pesat, tata ruang yang amburadul, serta drainase tidak memadai.
Di sisi lain, krisis pengelolaan sampah di TPA Telaga Punggur semakin parah, diperburuk dengan dugaan maladministrasi hingga indikasi korupsi di Dinas Lingkungan Hidup Batam. Kondisi ini membuat tumpukan sampah menggunung di ruang publik dan mengancam kesehatan warga.
“Batam selalu dibranding sebagai kota industri dan pariwisata, tapi kenyataannya sampah menumpuk, banjir meluas. Pemerintah gagal menjamin layanan dasar rakyat,” ujar Muryadi.
Mafia Pangan dan Harga Kebutuhan Pokok
Mahasiswa juga menyoroti praktik mafia pangan yang dituding bermain di balik kelangkaan beras dan kebutuhan pokok di Kepri. Meski Bulog menyatakan stok aman, harga di lapangan terus melambung.
“Mafia pangan itu nyata. Mereka bermain di distribusi dan harga. Pemerintah tahu tapi diam. Yang untung bukan rakyat, melainkan segelintir elit dan spekulan,” tegas Muryadi.
Pendidikan, Parkir, dan RKUHAP
Di sektor pendidikan, mahasiswa menuntut kejelasan status serta gaji guru honorer yang jauh di bawah UMK Batam. “Guru adalah pilar bangsa, tapi di Batam banyak yang gajinya di bawah Rp2 juta dan sering terlambat dibayar,” katanya.
Isu lain adalah kebocoran retribusi parkir, yang seharusnya menjadi sumber PAD. Lemahnya pengawasan disebut membuat jutaan rupiah menguap tanpa masuk kas daerah.
Mahasiswa juga mengecam sikap represif aparat dalam merespons aksi massa serta menolak pengesahan RKUHAP yang dianggap berpotensi membungkam kebebasan berpendapat.
“Kami tidak anti-hukum, tapi RKUHAP versi sekarang adalah ancaman bagi demokrasi. Kritik bisa dipidana, aktivis bisa dikriminalisasi. Ini bahaya,” ujar Muryadi.
Kota Layak Anak: Sekadar Pencitraan?
Mahasiswa juga menolak klaim Pemko Batam sebagai “Kota Layak Anak”. Menurut mereka, fakta di lapangan justru menunjukkan masih banyak anak terlantar, minim akses pendidikan, bahkan bekerja di jalanan.
“Bagaimana bisa klaim kota layak anak, sementara di pinggiran Batam masih banyak anak putus sekolah? Itu hanya pencitraan,” ungkap Muryadi.
Kajian Akademik sebagai Dasar Aksi
Dalam policy brief-nya, BEM SI Kepri menyarankan pemerintah untuk membuka data status lahan Rempang, memperkuat tata ruang guna cegah banjir, membenahi manajemen sampah, menindak mafia pangan, hingga melibatkan UMKM lokal dalam program makan bergizi gratis.
“Semua ini bukan sekadar tuntutan emosional. Kami hadir dengan data, riset, dan solusi. Pemerintah tidak bisa lagi berdalih mahasiswa hanya bisa berteriak di jalan,” tutup Muryadi yang juga Demisioner Ketua BEM UNRIKA. (Jul)
Editor : Js

















