Header Ads Widget

Bencana Itu Alarm Keras, Jangan Matikan Suaranya

Foto : Penulis J. Silaen (kiri) dan kondisi perkampungan saat dihantam banjir bandang (kanan). (dok/ist)

Oleh: J. Silaen

Sorong, JejakSiber.com – Air bandang dan tanah longsor yang memporak-porandakan sebuah daerah, merenggut nyawa, merusak rumah, memutus akses, memaksa rakyat mengungsi, bukan sekadar bencana alam biasa. Itu adalah peringatan keras—alarm yang berulang kali berbunyi lantang namun terus kita abaikan.

Musibah yang melanda Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan menyebar ke sejumlah wilayah lain di Sumatera Utara termasuk Kota Medan, sejak Selasa (25/11/25) kemaren, memperlihatkan dengan gamblang betapa buruknya kondisi tata kelola lingkungan kita. Banjir kali ini datang tidak sekadar membawa lumpur dan air. Ia hadir dengan bukti: gelondongan kayu.

Masyarakat setempat secara serentak menyebut sumber gelondongan itu: PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Potongan kayu eukaliptus, jenis yang menjadi bahan baku industri perusahaan tersebut, hanyut berserakan seolah menjadi saksi yang tak dapat dibantah.

Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu pun menyampaikan hasil temuan tim pakar yang memperkuat dugaan tersebut—kayu yang muncul di tengah bencana bukan kayu rakyat, bukan kayu liar. Itu adalah kayu eukaliptus industri.

Lantas pertanyaan besar muncul dan menghentak logika publik:

Siapa pengusaha yang meraup untung dari eksploitasi hutan ini?

Dan mengapa rakyat yang harus membayar ongkosnya dengan derita dan nyawa?

Sudah terlalu lama nama PT TPL berseliweran dalam isu perusakan lingkungan, hilangnya habitat, sengketa lahan, dan konflik dengan masyarakat adat. Kini, ketika bencana menerjang dan kampung luluh lantak diterjang banjir, masih saja terdengar suara-suara yang membela perusahaan tersebut. Mereka mengalihkan narasi seolah-olah perusahaan besar tidak mungkin bersalah.

Ironi paling pahit: saat warga meratapi rumah yang hanyut dan masa depan yang suram, justru argumen pembelaan terhadap TPL mengalir deras. Seolah-olah gelondongan kayu eukaliptus yang berserakan itu hanyalah kebetulan. Seolah tidak ada kesalahan dalam pengelolaan hutan yang sudah lama dipertanyakan publik.

Apakah kita masih mau menutup mata?

Masihkan perusahaan ini layak diberi ruang beroperasi tanpa pengetatan pengawasan?

Atau negara harus berani menutup pintu ketika kerusakan tak lagi dapat dikendalikan?

Keberadaan investasi tidak boleh menjadi alasan pembenar untuk membiarkan nyawa rakyat melayang dan bencana terjadi berulang-ulang. Jika terbukti merusak tata lingkungan dan mengancam keselamatan warga, negara memiliki kewajiban untuk bertindak tegas, tanpa kompromi, tanpa negosiasi.

Bencana ini adalah peringatan keras. Alarm telah berbunyi, semakin memekakkan telinga dari tahun ke tahun. Jika pemerintah—pusat maupun daerah—justru memilih mematikannya, maka kelak sejarah akan mencatat kelalaian itu sebagai kejahatan lingkungan yang disengaja.

Karena apa arti pembangunan dan investasi, bila akhirnya mengorbankan manusia yang menjadi alasan negara ini berdiri?

Saatnya bertindak sebelum alam benar-benar kehilangan kesabarannya. (***)