Header Ads Widget

GMNI Batam Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

Foto : GMNI Batam Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. (dok/ist)

Batam, JejakSiber.com - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Batam menegaskan penolakannya terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Sikap tersebut disampaikan sebagai bentuk penegasan ideologis organisasi yang berlandaskan nilai-nilai Marhaenisme.

Ketua DPC GMNI Batam, Alwi Djaelani, menyebut bahwa pemberian gelar tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar bangsa, terutama kemanusiaan, keadilan, dan kerakyatan yang terkandung dalam Pancasila.

“Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sama halnya dengan mencederai nilai-nilai Pancasila. Tiada hal yang dapat dimaafkan, terlebih atas nama pembangunan bagi seorang Marhaenis,” ujar Alwi, Senin (10/11/25).

Menurut Alwi, masa kepemimpinan Soeharto selama Orde Baru diwarnai berbagai pelanggaran hak asasi manusia dan praktik otoritarianisme yang bertentangan dengan semangat demokrasi dan keadilan sosial. GMNI Batam menyoroti sederet peristiwa kelam, di antaranya tragedi pembantaian 1965–1966, penindasan terhadap buruh dan mahasiswa, pembungkaman kebebasan pers, serta penembakan misterius (Petrus) yang terjadi pada dekade 1980-an.

Selain itu, Soeharto juga dinilai bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM berat seperti peristiwa Talangsari 1989, tragedi Malari, kasus Trisakti-Semanggi, dan kekerasan di Timor Leste.

“Di bawah kepemimpinannya, banyak pelanggaran HAM dan praktik otoritarianisme yang jelas mengkhianati sila kedua dan keempat Pancasila. Kekuasaan yang terpusat, represif, dan korup bertentangan dengan semangat kerakyatan,” tambah Alwi.

Mahasiswa Fisipol Universitas Riau Kepulauan (Unrika) itu juga menyoroti kebijakan ekonomi Orde Baru yang dinilainya elitis dan pro-konglomerat. Menurutnya, sistem ekonomi yang dijalankan Soeharto hanya menguntungkan segelintir kelompok di lingkar kekuasaan, sementara rakyat kecil atau kaum marhaen justru terpinggirkan.

“Kekayaan negara hanya dinikmati oleh lingkaran elite, bukan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.

Bagi GMNI Batam, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan membungkam nalar kritis masyarakat, menghapus memori kolektif bangsa terhadap pelanggaran HAM masa lalu, serta merusak makna perjuangan Reformasi 1998. Mereka menilai bahwa langkah tersebut berpotensi mengaburkan sejarah perjuangan rakyat yang menumbangkan rezim otoriter dan memperjuangkan demokrasi.

“Dengan diberikannya gelar pahlawan bagi Soeharto, pemerintah seolah menutup mata terhadap luka sejarah dan perjuangan rakyat yang menumbangkan rezim otoriter itu,” ujar Alwi.

Lebih lanjut, GMNI Batam menyerukan agar pemerintah dan masyarakat tetap menjaga objektivitas sejarah serta tidak menjadikan pembangunan sebagai pembenaran atas pelanggaran kemanusiaan. Menurut mereka, menganugerahkan gelar pahlawan kepada tokoh yang dianggap bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran kemanusiaan berarti mengkhianati semangat kebangsaan dan pengorbanan para pahlawan serta pejuang reformasi.

“Pancasila yang dijiwai oleh Marhaenisme menempatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun pada masa Orde Baru, nilai-nilai itu justru dikhianati melalui kebijakan ekonomi yang menindas rakyat kecil,” tutur Alwi menegaskan. (Jul)

Editor : Js