![]() |
| Sumber Foto: Michael Ochs Archives/Getty Images. (dok/ist) |
Batam, JejakSiber.com - Presiden Prabowo Subianto menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua Indonesia, Soeharto. Gelar tersebut disampaikan dalam upacara di Istana Negara, Senin (10/11/25). Soeharto menjadi satu dari 10 tokoh yang mendapat gelar tersebut.
Perdebatan publik pun muncul setelah pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua Republik Indonesia itu. Langkah ini menuai pro dan kontra, terutama dari kalangan aktivis dan korban pelanggaran HAM yang terjadi selama masa pemerintahannya.
Secara bersamaan, selain Soeharto, Presiden juga memberikan gelar pahlawan kepada Marsinah, seorang aktivis serikat buruh independen yang bekerja di pabrik jam tangan di Jawa Timur yang dibunuh di era represi brutal kediktatoran rezim Soeharto.
Menariknya, keduanya mendapat gelar pahlawan di hari yang sama, menghadirkan kontras antara Marsinah korban pelanggaran HAM dan Soeharto selaku penguasa rezim kala itu.
Kontroversi pemberian gelar Pahlawan Nasional pada Soeharto pun mendapat tanggapan dari aktivis dan akademisi Kota Batam.
Dr. Diki Zukriadi, dosen Universitas Putera Batam, mengatakan pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan penghargaan yang diatur oleh UU No. 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, terutama Pasal 24 yang menetapkan syarat integritas moral, keteladanan, dan tidak pernah dipidana atas tindak pidana berat sebagai kriteria utama.
Terkait kontroversi gelar Soeharto, menurutnya walaupun proses administratif telah dijalankan sesuai Pasal 25 dan 26 perundang-undangan terkait, terdapat kontroversi dalam rekam jejaknya, termasuk pelanggaran HAM, otoritarianisme, dan praktik korupsi selama masa pemerintahan yang sudah dikategorikan notoire feiten.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa penghargaan ini dijalankan dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi demi menjaga keadilan, kebenaran sejarah, dan martabat penghargaan nasional demi kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya, Senin (10/11/25).
Ia juga menjelaskan, pemberian gelar yang bersamaan antara Marsinah dan Soeharto sebagai pemimpin rezim yang bertanggung jawab atas penindasan masa itu menghadirkan paradoks dan pertanyaan besar tentang konsistensi keadilan dan narasi sejarah bangsa.
Menurutnya, Marsinah memenuhi kriteria Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 yang mengatur pemberian gelar pahlawan, khususnya terkait integritas moral, keteladanan, dan pengabdian tanpa cacat.
“Sebaliknya, pemberian gelar kepada Soeharto menuai kritik tajam mengingat rekam jejak rezimnya mencakup pelanggaran HAM dan praktik korupsi yang belum terselesaikan tentu memicu kontradiksi dan menimbulkan keraguan publik, apakah penghargaan Pahlawan Nasional benar-benar mencerminkan nilai keadilan substantif dan penghormatan terhadap korban,” katanya lagi.
Ia menambahkan, peristiwa ini ibarat membuka ruang refleksi mendalam akan pentingnya penghargaan nasional. Ia juga mempertanyakan apakah penghargaan ini hanya bersifat simbolis atau menjaga nilai moral dan keadilan sejarah.
“Karena seharusnya penetapan gelar pahlawan merupakan sarana memperkuat persatuan dan pengakuan atas kebenaran sejarah, bukan sebaliknya mencoreng wajah hukum, memperdalam luka dan perbedaan yang sampai saat ini tidak terselesaikan,” ujarnya menambahkan.
Di satu sisi, akademisi hukum itu beranggapan negara tidak fasih terhadap makna gelar pahlawan. Menurutnya, ini berpotensi meniadakan nilai moral dan amanat reformasi.
“Bagi sebagian orang silakan memberikan gelar pahlawan, sama seperti saya, sebagai pengagum beliau, namun cukup ditanamkan di dalam hati masing-masing saja. Kalau untuk disahkan secara resmi maka harus diklarifikasi dulu semua kontroversi yang pernah terjadi pada eranya,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Batam. Penolakan tersebut disampaikan sebagai bentuk penegasan sikap ideologis organisasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan Marhaenisme.
Ketua DPC GMNI Kota Batam, Alwi Djaelani, menyebut pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila, Marhaenisme, serta amanat konstitusi UUD 1945.
“Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto sama halnya dengan mencederai nilai-nilai Pancasila. Tiada hal yang dapat dimaafkan terlebih atas nama pembangunan bagi seorang Marhaenis,” ujar Ketua DPC GMNI Batam (10/11/25).
Menurutnya, catatan kelam Orde Baru kepemimpinan Soeharto diwarnai berbagai pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan, keadilan, dan demokrasi. Mereka menyoroti sejumlah peristiwa kelam yang terjadi dalam masa pemerintahannya, seperti tragedi pembantaian 1965–1966, penindasan terhadap buruh dan mahasiswa, pembungkaman kebebasan pers, serta kasus penembakan misterius.
Selain itu, Soeharto juga dinilai bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM seperti peristiwa Talangsari 1989, tragedi Malari, kasus Trisakti–Semanggi, hingga kekerasan di Timor Leste.
“Di bawah kepemimpinannya, banyak pelanggaran HAM dan praktik otoritarianisme yang bertentangan dengan sila kedua dan keempat Pancasila. Kekuasaan yang terpusat, represif, dan korup jelas mengkhianati semangat kerakyatan,” ujar Alwi.
Selain itu, Alwi juga menilai kebijakan ekonomi Orde Baru yang pro-konglomerat dan elitis telah menyingkirkan kaum kecil atau kaum marhaen. Prinsip keadilan sosial yang menjadi roh sila kelima Pancasila disebut diabaikan demi kepentingan segelintir kelompok dekat kekuasaan.
“Kekayaan negara hanya dinikmati oleh lingkaran elite, bukan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia,” tambahnya.
Mahasiswa semester akhir Fisipol Unrika itu menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto berarti membungkam nalar kritis masyarakat, menghapus memori kolektif bangsa terhadap pelanggaran HAM masa lalu, dan merusak makna perjuangan reformasi 1998.
“Dengan diberikannya gelar pahlawan bagi Soeharto, pemerintah seolah menutup mata terhadap luka sejarah dan perjuangan rakyat yang menumbangkan rezim otoriter itu,” tegas Ketua GMNI Batam.
Organisasi mahasiswa itu menyerukan agar pemerintah dan masyarakat tetap menjaga objektivitas sejarah serta tidak menjadikan pembangunan sebagai pembenaran atas pelanggaran kemanusiaan dan keadilan sosial.
Selain itu, Andri Saputra, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Batam, menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Menurutnya, langkah tersebut tidak pantas dilakukan mengingat rekam jejak Soeharto yang dinilai sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penyalahgunaan kekuasaan selama masa pemerintahannya.
Ia juga menjelaskan, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional akan melukai hati para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih bijak dan mempertimbangkan dampak sosial serta moral dari keputusan tersebut.
“Kami menolak keras pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Mau bagaimanapun, Soeharto merupakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Kami menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini dan menghormati hak-hak korban pelanggaran HAM,” ujarnya.
Selain itu, HMI Batam menilai keputusan ini dapat menurunkan kredibilitas pemerintah dalam upaya penegakan nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Organisasi mahasiswa berbasis Islam ini menegaskan pentingnya menghormati sejarah dan tidak menghapus jejak kelam masa lalu dengan memberikan gelar kehormatan kepada tokoh yang kontroversial.
HMI Batam juga menyerukan kepada pemerintah untuk membuka kembali ruang dialog publik terkait penetapan gelar Pahlawan Nasional. Mereka menilai bahwa proses pemberian gelar harus dilakukan secara transparan, melibatkan para ahli sejarah, aktivis HAM, serta masyarakat sipil agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan.
Sebagai ulasan, berbagai kerusuhan dan pembunuhan lumrah terjadi di era rezim Soeharto. Puncaknya, pada Mei 1998 Soeharto lengser setelah mahasiswa menduduki Gedung DPR-RI menuntut presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun itu mundur.
Kontroversinya dimulai dari pembunuhan massal pada tahun 1965–1966 yang merenggut 500.000 sampai 3 juta jiwa melayang. Selain itu, penembakan misterius (Petrus) pada tahun 1982–1985 di mana terdapat 10.000 korban jiwa, peristiwa Talangsari 1989 sebanyak 130 jiwa, hingga kerusuhan Mei 1998 sebanyak 1.217 jiwa.
Bahkan, Soeharto dinobatkan sebagai presiden paling korup di dunia pada tahun 2004 oleh Transparency International. Catatan ini mengalahkan mantan presiden Filipina Ferdinand Marcos dan presiden Zaire Mobutu Sese Seko.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto diduga menggelapkan anggaran sebesar Rp250,5–Rp584,6 triliun. Pada 2015, Mahkamah Agung menyatakan Yayasan Supersemar yang didirikan oleh Soeharto telah menyalahgunakan sebagian uang negara. (Jul)
Editor : Js

















