Header Ads Widget

Pengoperasian PT TPL Sebaiknya Dihentikan

Foto : Pengoperasian PT TPL Sebaiknya Dihentikan. (dok/ist)

Sorong, JejakSiber.com — Era Orde Baru dan masa kini jelas berbeda secara prinsip pembangunan. Pada masa Orde Baru, industrialisasi eksploitatif diberi karpet merah tanpa kajian matang terhadap dampak lingkungan, sosial, ekonomi, hingga budaya politik masyarakat. Negara memfasilitasi ekspansi perusahaan besar, seolah pertumbuhan ekonomi dapat ditebus dengan kerusakan yang tak terlihat di awal.

Salah satu produk dari paradigma keliru itu adalah kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang sebelumnya dikenal sebagai PT Inti Indorayon Utama. Sudah lebih dari 30 tahun perusahaan ini beroperasi di Tanah Batak. Sejak awal, masyarakat, tokoh gereja, hingga kalangan akademisi telah menyuarakan penolakan. Kekhawatiran mereka bukan isapan jempol: industri pengolahan kayu ini dianggap mengancam ekosistem Danau Toba dan kawasan sekitarnya.

Kini bukti kerusakan itu terpampang nyata. Banjir bandang, tanah longsor, dan bencana ekologis lain menghantam daerah-daerah di Tapanuli mulai dari Selatan hingga Tengah, merenggut ratusan korban jiwa dan meluluhlantakkan permukiman. Alam yang dulu menjadi sumber hidup masyarakat berubah menjadi ancaman mematikan.

Ekonomi Rakyat Pun Terpuruk

Sebelum TPL hadir, masyarakat mengolah sawah, berladang, dan beternak dengan tenang. Namun setelah ribuan hektare hutan hijau berubah menjadi hutan tanaman industri, ruang hidup masyarakat menyempit. Sumber air rusak, lahan mengering, dan akses ekonomi mereka dirampas secara perlahan.

Lalu siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah yang mengizinkan atas nama pembangunan? Atau masyarakat yang dipaksa tunduk pada skenario ekonomi elit? Pertanyaan itu masih menggantung. Namun satu hal pasti: masyarakat sebagai pemilik hak ulayat adalah pihak yang paling berhak menentukan masa depan tanah mereka.

Kasus di Desa Lumban Gaol, Kecamatan Habinsaran, Tapanuli Utara, menjadi contoh nyata. TPL (eks Indorayon) terus beroperasi di wilayah yang membawahi beberapa desa ulayat. Ada tokoh lokal yang menyetujui, tapi banyak pula yang kini menuntut evaluasi menyeluruh.

Seorang tokoh masyarakat asal Lumban Gaol yang kini merantau menyatakan bahwa keberadaan TPL harus dihentikan sebelum berdampak seperti yang terjadi di daerah lain.

“Kawasan operasional TPL berada di wilayah Desa Lumban Gaol, mencakup Lumban Gaol, Sidempuan, Desa Sijomba, dan Tornaganjang. Ini harus dibicarakan ulang oleh pemilik hak ulayat. Jangan sampai kami mengalami kehancuran yang sama seperti di Sibolga,” tegasnya.

Ia juga menyoroti metode pengelolaan hutan oleh perusahaan. Selama tidak menggunakan sistem tebang habis (clear cutting), kerusakan dapat diminimalisir. Namun jika perusahaan tetap menjalankan praktik tebang habis, hutan alam akan punah dan tanah menjadi gundul—bencana ekologis tinggal menunggu waktu.

Kesimpulan

Perusahaan yang mengatasnamakan pembangunan tidak boleh lagi kebal kritik. Keberlangsungan PT TPL wajib dipertanyakan ulang—bukan setelah kerusakan akut terjadi, tetapi sekarang. Jika negara benar hadir untuk rakyat, maka suara pemilik hak ulayat harus menjadi rujukan utama. Tidak ada pembangunan yang sahih jika mengorbankan kehidupan generasi hari ini dan mendatang.

Penulis: J. Silaen

Editor: Js